Suasana pedesaan, masyarakat yang ramah. Mengingatkan
ku dengan cerita Bapak semasa kecilku dulu. Bagi Bapak kampung
halamannya merupakan istana terbesar dihidupnya. Walau sering sekali Bapak
bercerita tentang hidupnya yang berat. Bapak sering bilang, “Waktu Bapak kecil
bapak sekolahnya dibawah pohon sengon, trus kalau sekolah harus jalan kaki
berkilo-kilo meter, dan sebelum berangkat sekolah harus bantuin disawah dulu,
nandur(menanam), ngasih makan bebek, setelah itu baru berangkat sekolah.” Awalnya
aku bingung apa itu pohon sengon? Dan kenapa sekolah saja susahnya minta ampun
seperti itu.
Bapak memang
besar disebuah desa di Jawa Tengah, namanya Desa Ketug, kec. Kutoarjo, Kab.
Purworejo. Beberapa kali aku pernah kesana hanya untuk menjumpai nenek dan
saudara ketika lebaran. Namun biasanya hanya beberapa hari menghabiskan waktu
dikampung Bapak karena kita sekeluarga tidak betah dengan suasana kampungnya. Suasananya sepi, tidak banyak penerangan,
dan sedikit hiburan. Rasanya tidak nyaman dan berbeda dengan kota.
Minggu kemarin aku dan beberapa teman kampusku
mendapat tugas studio di Kabupaten Purworejo dan aku mendapat survey di
Kecamatan Bayan, Kotoarjo, Butuh dan Pituruh. Dari empat kecamatan itu
Kecamatan Kutoarjo lah yang lebih terlihat perkotaan, sedangkan kecamatan lain
sangat terlihat desa. Aku yakin ilmu relatifitas itu memang ada, dari pemikiran
masa kecilku yang membandingkan kampung Bapak dengan Kota Jakarta memang sangat
kontras. Namun setelah aku membuka pikiranku dengan menjelajah Kecamatan lain disekitar
kampung Bapak, kampung Bapaklah yang lebih terlihat perkotaannya.
Terlepas dari keadaan spasial kota dengan desa.
Aku tertarik dengan kondisi dan kehidupan didesa.